Minggu, 19 September 2010

pembelajaran dasar {SD}

memperhatikan hal-hal berikut ini.
  Guru memandang penilaian dan kegiatan belajar-mengajar secara terpadu.
  Guru mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat penilaian
sebagai cermin diri.
  Guru melakukan berbagai strategi penilaian di dalam program pengajaran
untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta
didik.
  Guru mempertimbangkan berbagai kebutuhan khusus peserta didik.
  Guru mengembangkan dan menyediakan sistem pencatatan yang bervariasi
dalam pengamatan kegiatan belajar peserta didik.
  Guru menggunakan cara dan alat penilaian yang bervariasi, misalnya dengan
cara gabungan dua atau lebih bentuk penilaian unjuk kerja, penilaian sikap,
penilaian tertulis, penilaian proyek, penilaian produk, penggunaan portofolio,
dan penilaian diri yang mencakup memuat domain kognitif, psikomotor dan
afektif.
  Guru mendidik peserta didik dan meningkatkan mutu proses pembelajaran
seefektif mungkin.

 Langkah Pertama Pelaksanaan Penilaian  Proses serta Hasil Belajar dan
Pembelajaran:
Pengumpulan Informasi.
  Penilaian proses serta hasil belajar dan pembelajaran dalam bentuk penilaian
internal ini dilakukan guru yang diawali dengan kegiatan pengumpulan informasi
yang dibutuhkan. Informasi yang dikumpulkan tersebut memenuhi kriteria penilaian
sebagai berikut.
(1) Kriteria validitas.
  Validitas berarti informasi tersebut dapat digunakan untuk menilai apa yang
seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur
kompetensi. Dalam mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan   mempraktikkan gerak dasar jalan
informasi yang dikumpulkan untuk penilaian pembelajaran disebut memenuhi
kriteria validitas apabila informasi tersebut merupakan informasi unjuk kerja.
(2)  Kriteria reliabilitas.
Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi (keajegan)  dari informasi yang
dikumpulkan.  Misalnya, guru  akan melaksanakan penilaian dengan
menggunakan bentuk penilaian  unjuk kerja,  maka informasi yang
dikumpulkan disebut memenuhi kriteria  reliabilitas  jika  informasi  yang
diperoleh itu cenderung sama bila unjuk kerja itu dilakukan lagi dalam
kondisi yang relatif sama.
(3) Kriteria menyeluruh.
Informasi yang dikumpulkan untuk kepentingan penilaian pembelajaran yang
mendidik  harus mencakup seluruh domain yang tertuang pada setiap
kompetensi dasar.
(4) Kriteria berkesinambungan.
Informasi yang dikumpulkan untuk kepentingan penilaian pembelajaran yang
mendidik  harus  dilakukan secara terencana, bertahap dan terus menerus, 


terbitnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
menimbulkan berbagai implikasi terkait peningkatan mutu tenaga pendidikan.
Kompas (2006) menulis bahwa peningkatan kualifikasi dan upaya pemberian
peningkatan kesejahteraan seimbang dengan kompetensi menjadi tuntutan Undang-
Undang baru tersebut di tengah realitas guru yang memprihatinkan. Menyikapi hal
itu, Redaksi Harian ”Kompas” mengadakan diskusi panel bertajuk "Profesionalisme
dan Pendidikan Guru", Selasa (24/1). Panelis yang hadir terdiri atas Dirjen
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal, Rektor
Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta Paulus Suparno, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Sunaryo Kartadinata, Ketua Umum Federasi
Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman, Koordinator Koalisi Pendidikan Lodi
Paat, serta Koordinator Litbang SD Hikmah Teladan Cimahi, Aripin Ali. Diskusi
dipandu Soedijarto, Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
sekaligus penasihat PB PGRI.
Teori Observational Learning (Belajar Pengamatan) atau Socio- Cognitive Learning (Belajar Sosio-Kognitif)
  Perhatikan beberapa kejadian berikut ini sebagai contoh teori belajar pengamatan
atau teori belajar sosio-kognitif. Seorang anak memergoki ayahnya memeluk ibu
ketika sang ayah pulang kerja. Tampak betapa ayah-ibu bergembira dan berwajah
cerah. Sewaktu adiknya berlega hati meminjamkan mainan baru, anak itu
berterimakasih dengan mencium pipi si adik. Pertama kali menyimak dialog di TV  Help me, please!
pengamatan itu. Ketika bica
aku main, please please 
kejadian tersebut merupakan contoh belajar sekedar coba-coba meniru dan berhasil?
Apakah kebetulan saja anak menyimak dan tertarik pada pengamatannya? Contoh di
atas adalah perilaku wajar dan dapat diterima dalam pergaulan rumah tangga.
Bahkan itu dipandang sebagai perilaku antarpribadi yang diharapkan ditempuh guna
mengungkap keakraban dan kebutuhan saling peduli. Contoh itu disebut imitasi atau
peniruan, yang pada teori belajar sosial dipandang sebagai pusat proses sosialisasi.
  Proses belajar yang bersangkut-paut dengan peniruan disebut belajar observasi
(observational learning).  Albert Bandura (1969)  menjelaskan bahwa berlajar
observasi merupakan sarana dasar untuk memperoleh perilaku baru atau mengubah
pola perilaku yang sudah dikuasai. Belajar observasi biasa juga disebut belajar sosial
(social learning) karena yang menjadi obyek observasi pada umumnya perilaku
belajar orang lain. Belajar sosial mencakup belajar berperilaku yang diterima dan
diharapkan publik agar dikuasai individu. Di dalam  belajar sosial,  berlangsung
proses belajar berperilaku yang tidak diterima publik. Perilaku yang diterima secara
sosial itu bervariasi sesuai budaya, sub-budaya dan golongan masyarakat.
  Masyarakat menghendaki setiap orang mampu menempatkan diri sesuai usia,
kedudukan, pendidikan dan jenis kelamin dalam konteks relasi antar pribadi. Hal ini
berkenaan dengan penyikapan diri di hadapan orang lain. seakrab apapun sikap guru,
peserta didik menahan diri untuk berperilaku polos, dan bebas pada gurunya. Paling
tidak ada rasa segan yang membatasi peserta didik, dan guru bersikap apa adanya
dalam pergaulan mereka. Pada masyarakat demokratis perilaku sosial seseorang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar